Suara Masyarakat Anti Diskriminasi
SOMASINEWS.COM PADANG SUMBAR, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Bambang Wiguritno mengatakan bahwa industri kelapa sawit saat ini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Banyak regulasi yang mempersempit luasan perkebunan kelapa sawit, terutama dari KLHK.
“Memang, banyak perkebunan kelapa sawit yang masuk kawasan hutan. Tapi banyak juga kawasan hutan yang berada di kawasan perkebunan kelapa sawit. Ini disebabkan regulasi di Indonesia yang sering berubah-ubah,” ucap Bambang dalam sambutannya pada acara Sosialisasi Tandan Kosong Sawit dan Pemanfaatannya sebagai Soil Conditioner untuk Meningkatkan Pemupukan dan Kesuburan Tanah pada Perkebunan Sawit yang digelar Institut Pertanian Bogor (IPB) University bekerjasama dengan Universitas Andalas (Unand) dan Badan Pengumpul Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Jumat (5/7/2024) di Truntum Hotel Padang.
Dikatakan Bambang, Sumbar bukan penghasil kelapa sawit atau Cruid Palm Oil (CPO) terbesar. Sumbar hanya masuk 10 besar di Indonesia. Namun lahan perkebunan di Sumbar memiliki unsur hara yang baik, terutama di Pasaman Barat.
“Kita berharap, kegiatan sosialisasi yang digelar IPB University ini memberi banyak manfaat, karena tidak saja diikuti oleh akademisi, tapi juga pengusaha dan petani sawit,” ungkap Bambang.
Di Sumbar ada sekitar 450 ribu hektare kebun kelapa sawit.
Namun, apabila semakin lama jumlahnya berkurang, tentu juga akan mempengaruhi BPDKS mengumpulkan dana untuk.legiatan-kegiatan penelitian dan sebagainya.
Sementara itu Ketua Panitia Pelaksana kegiatan, Prof. Dr. Erliza Hambali mengatakan bahwa saat ini banyak faktor yang memengaruhi perkembangan perkebunan sawit, termasuk besarnya biaya pengelolaannya karena tingginya harga pupuk dan mendapatkannya juga sulit.
“Karena itu, melalui berbagai penelitian yang.dilakukan, maka dilakukan Karbonisasi tandan kosong atau biochar. Selain mampu mengurangi kebutuhan pupuk hingga 20 persen, karbonisasi biochar juga mampu menyerap air sehingga mengurangi kebutuhan air kelapa sawit,” terang Prof. Erliza yang didampingi Dekan Fakultas Pertanian Unand, organisasi pekerja kebun sawit dan dari BRIN.
Ditambahkan, Tanaman yang diberikan biochar, bisa semakin subur karena memiliki microba yang banyak. Dengan begitu, tandan yang dihasilkan juga lebih besar dan banyak sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani sawit.
“Bukan berarti harus tanpa.pupuk, tapi mengurangi kebutuhan pupuk. Karena pohon kelapa membutuhkan pupuk yang banyak agar dapat menghasilkan buah yang baik. Nah, dengan biochar dapat mengurangi biaya di perkebunan,” ucapnya.
Karbonisasi biochar ini sangat perlu disosialisasikan pada petani, untuk mengurangi kebutuhan pupuk. Karena, pupuk lebih banyak diimpor.
Bahkan jika adalah masalah di luar negeri, seperti sekarang perang Rusia dengan Ukraina, otomatis harga pupuk juga naik dan tentunya juga sulit mendapatkannya.
“Jika pupuk sulit didapat petani dan harganya juga mahal, tentunya petani menyalahkan pemerintah. Kita berharap, dengan biochar, biaya petani berkurang semoga meningkat kesejahteraannya,” pungkas Prof. Erliza. (ms/ald)