Menopang Kebebasan Pers.

Oleh: Andri Meirdyan Syarif, S.E.,S.H.,M.M. Merupakan Ketua Dewan Pengawas Lembaga Bantuan Hukum Perjuangan Pemuda Untuk Keadilan (LBH PERPUKAD), Kamis (03/09/2020).

Lampung (Somasinews.com) Tanpa pers yang bebas, negara tidak bisa disebut sebagai negara yang demokratis. Itu prasyarat yang mutlak tidak bisa ditawar-tawar.
Kebebasan pers dan demokrasi adalah dua sisi mata uang tidak bisa dipisahkan, Tanpa itu, sebuah negara jelas bukanlah negara demokrasi. Kalau toh tetap mengklaim ngaku-ngaku negara demokrasi, kualifikasinya adalah pseudo democracy (demokrasi semu).

Menurut Pengacara Dan Ketua Dewan Pengawas LBH PERPUKAD Andre Meirdyan Syarif, SE, SH, MM. Menjelaskan, Dari sisi itu tanda-tanda Indonesia menjadi demokrasi semu kian kuat. Tim Lindsay, seorang akademisi dan peneliti dari Universitas Melbourne Australia malah menilai Indonesia di bawah rezim Jokowi telah berubah menjadi Neo New Order.
Sementara Indonesia harusnya jauh lebih maju dalam praktek Demokrasi, Era reformasi sudah memasuki dua Dasa Warsa, Harusnya lebih mapan dan dewasa secara demokrasi,” Jelasnya.

Kita runut saja beberapa kejadian yang menimpa kebebasan pers.
Pada Bulan Mei 2020. Wartawan Detik.com (Tempo Group) mengalami Doxing.
Doxing adalah menyebar identitas seseorang termasuk jejak digitalnya di media sosial dengan tujuan agar diserang beramai- ramai, Itu merupakan ancaman dalam kebebasan pers.
Tak hanya itu, wartawan tersebut juga mengalami ancaman secara langsung lewat WA.” Terangnya.

Dia juga melanjutkan, Beberapa pekan lalu, tempo.co dan tirto.id menjadi pembicaraan publik, Situsnya diretas dan tampilannya diubah oleh hacker. Serangan terhadap 2 media tersebut diduga erat kaitannya dengan sikap kritisnya terhadap kebijakan pemerintah di masa pandemi, Tempo group belakangan sangat kritis menyoroti kegagalan pemerintah Jokowi menangani pandemi Covid 19, Mereka juga menyoroti penggunaan influencer dan buzzer yang dianggarkan sekitar 90 M dari uang negara yang nota benenya adalah uang rakyat Indonesia. Sementara tirto.id menyoroti langkah TNI AD dan BIN yang bekerja sama dengan Universitas Airlangga menemukan “obat” Covid 19. Tak hanya Wartawan Media Nasional saja, perihal pengancaman dan intimidasi terhadap jurnalis juga terjadi di Provinsi Lampung.

Sebut saja pada Februari 2020, seorang jurnalis media Buser di Lampung Utara, dikeroyok oleh orang-orang yang tidak puas terhadap pemberitaan yang dimuat oleh jurnalis tersebut.
Hingga salah satu organisasi Pers di Lampung yaitu Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Lampung turun tangan mendesak aparat kepolisian mengusut tuntas kasus tersebut.” Lanjutnya.

Di Lampung Selatan pun terjadi hal serupa. Di Bulan Juni, tepatnya 1 Juni 2020 malam, seorang jurnalis Monologist.id yang bertugas melakukan peliputan di Pelabuhan Bakauheni Lampung Selatan, mengalami tindakan intimidasi dari oknum petugas kesehatan dari Dinas Kesehatan Lampung Selatan. Kejadian itu bermula saat jurnalis tsb sedang mengambil gambar di depan loket PT. ASDP Bakauheni, tiba-tiba dilarang oleh petugas kesehatan. Tak hanya itu saja, petugas kesehatan tersebut dengan arogan meminta handphone milik jurnalis, dan melaporkannya ke polisi. Di bulan Juli 2020, intimidasi juga dialami oleh seorang jurnalis yang tergabung dalam Komunitas Jurnalis Harian Lampung Selatan (KJHLS). Jurnalis tersebut saat menjalankan kerja jurnalistiknya, mengalami pengusiran oleh oknum pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lampung Selatan, sehingga hal tersebut dapat menghambat kerja jurnalistik.” Tambahnya.

Masih banyak lagi peristiwa serupa yang dialami oleh para jurnalis. Apalagi Di Indonesia dalam waktu dekat akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak.
Di Lampung ada 8 Daerah (1 Kota dan 7 Kabupaten) akan diselenggarakan Pilkada. Dari hasil kajian Bawaslu RI yang rampung pada Maret 2020, Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada Serentak 2020 menitikberatkan pada empat dimensi utama yang dijadikan sebagai alat ukur yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang demokratis, berkualitas, dan bermartabat. Keempat dimensi tersebut, yaitu (i) konteks sosial politik, (ii) 
penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, (iii) kontestasi, dan (iv) partisipasi. IKP Pilkada 2020 menggunakan enam kategori atau six sigma, yaitu level 1, level 2, level 3, level 4, level 5, dan level 6. Level 1 dan 2 masuk kategori kerawanan rendah, 3 dan 4 kategori rawan sedang, dan 5-6 masuk kategori rawan tinggi. Dari hasil laporan tersebut jika masuk ke level 3, artinya hampir setengah indikator kerawanan berpotensi terjadi. Untuk level 4 artinya lebih dari setengah indikator kerawanan berpotensi terjadi. Pada level 5, artinya sebagian besar indikator kerawanan berpotensi terjadi. Terakhir kategori level 6, yang artinya hampir seluruh indikator kerawanan berpotensi terjadi. Adapun level kerawanan di delapan Kabupaten/Kota di Lampung yang menggelar Pilkada, yakni Bandar Lampung level 3 dengan IKP 49,41; Lampung Selatan level 4 dengan IKP 50,23; Lampung Timur level 4 dengan IKP 52,44; dan Lampung Tengah Level 4, dengan IKP 54,30. Kemudian Pesawaran level 4 dengan IKP 56,34; Way Kanan level 3 dengan IKP 45,96; Metro level 3 dengan IKP 47,07; dan Pesisir Barat level 3 dengan IKP 46,82
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menilai data indeks kerawanan pemilu (IKP) 2020 di seluruh daerah di Lampung yang menggelar pilkada masuk kategori sedang. (sumber: Lampost.co – 02/09/2020).” Imbuhnya.

Di Alam Demokrasi seperti ini, hanya Pers lah Pilar Demokrasi yang masih sehat saat ini, dibandingkan dengan 3 Pilar Demokrasi lainnya yaitu Legislatif, Eksekutif, Yudikatif. Kita sangat berharap agar Pers dapat menjadi penopang demokrasi yang independen, karena dalam menjalankan tugas jurnalistiknya dilindungi oleh Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Sesuai pasal 18 UU No.40 Th 1999, yang menghambat dan menghalangi kerja wartawan dapat di Pidana Penjara paling lama 2 Tahun atau Denda paling banyak 500 juta. Di Pasal 4 UU No.40 Th 1999, Menjamin Kemerdekaan Pers, dan Pers memiliki hak mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Maka jika semua pihak ada yang tidak merasa puas dengan pemberitaan yang ditulis oleh jurnalis, bukan main ancam atau intimidasi, tetapi dapat menghubungi media tersebut atau dapat menghubungi Dewan Pers yang dibentuk berdasarkan pasal 15 UU No.40 tahun 1999 tentang pers.
Tentunya kita sebagai masyarakat, selalu berharap agar pers tetap memegang teguh kebenaran dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, tanpa terpengaruh oleh hal-hal yang dapat merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. (Semoga…,)” Tandasny. (Jhony/Andri)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan